photo 641fc573-be8e-4dc7-94eb-fefdfc092123_zpsf2dc90bb.jpg اللّهمّ صلّ على سيّدنآ محمّد النّبىََّ الاُمي وَعلى آلْْْه وصحبه و سلّم
Mari Tingkatkan Amal Soleh Sedekah Jariyah

Jumat, 10 Mei 2013

Utang Luar Negeri dan Liberalisasi Penyediaan Infrastruktur di Indonesia


 

Oleh: Dani Setiawan
Ketua Koalisi Anti Utang (KAU)

Pendahuluan
Infrastruktur mempunyai peran vital dalam perekonomian dan memiliki keterkaitan yang erat terhadap kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi. Penyelenggaraan infrastruktur yang baik memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Konsekwensi dari peranannya yang penting ini membutuhkan kehadiran negara dalam menyediakan pelayanan infrastruktur dasar bagi rakyat. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 33 dan 34 Undang Undang Dasar 1945 sebagai berikut:

Pasal 33: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”;
Pasal 34: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Berbagai data menunjukan, bahwa ketersediaan (stock) infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi terkait sangat erat. Pembangunan infrastruktur diyakini mampu menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja, meningkatkan konsumsi masyarakat dan pemerintah, serta memicu kegiatan produksi. Sektor infrastruktur dipahami secara luas sebagai enabler terjadinya kegiatan ekonomi produktif di sektor-sektor lain. Dalam konteks ekonomi, infrastruktur merupakan modal bagi pertumbuhan perekonomian dan sebagai katalisator antara proses produksi, pasar, dan konsumsi akhir. Keterbatasan akses masyarakat terhadap infrastruktur-infrastruktur dasar seperti fasilitas jalan, pendidikan, kesehatan dan informasi dapat berkorelasi pada tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Walaupun hal tersebut tidak berarti bahwa peningkatan akses infrastruktur secara fisik secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi keberadaan infrastruktur tersebut dapat menjadi kesempatan bagi setiap orang untuk keluar dari kemiskinan.
Persoalannya, sejauhmana kebijakan pemerintah saat ini dalam hal pembangunan infrastruktur telah memenuhi norma konstitusional di atas. Pertanyaan ini juga mencakup sejauhmana efektifitas belanja investasi pemerintah di bidang infrastruktur setiap tahun, mampu meningkatkan kapasitas negara dalam penyediaan infrastruktur publik bagi rakyat. Dan mengapa penyaluran utang luar negeri melalui kreditor internasional dalam pendanaan infrastruktur justeru memperdalam praktek liberalisasi ekonomi, khususnya di bidang infrastruktur dasar dan strategis di Indonesia. Hal-hal pokok inilah yang dicoba diulas secara singkat dalam tulisan ini.

Kebijakan Pendanaan
Salah satu kendala utama yang sering dikemukakan terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah soal pendanaan. Bank Dunia menyebutkan, untuk mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 6% per tahun, Indonesia membutuhkan pembiayaan infrastruktur sebesar 5% per tahun dari PDB. Dimulai ketika krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997-1998, dimana terjadi pengalihan prioritas belanja pembangunan pada sektor-sektor perekonomian lain. Sebagaimana ditunjukan dengan menurunnya belanja infrastruktur pemerintah, dari puncaknya tahun 1995 sebesar 9,2% dari PDB menjadi 3,2% pada 2005 dan berangsur meningkat menjadi 3,9% pada 2009.[1]
Dengan latar belakang semacam ini, peningkatan belanja infrastruktur oleh Pemerintah dianggap tidak lagi mencukupi. Karena itu pada perjalanannya diarahkan dengan mengajak keterlibatan pihak swasta dalam pendanaan dan pengelolaan infrastruktur. Misalnya penyelenggaraan Infrastructure Summit pada masa pemerintahan SBY jilid I yang dimaksudkan untuk merangsang pembangunan infrastruktur dengan melibatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP). Dalam acara bernama Indonesia Infrastructure Summit 2005 itu, Pemerintah menawarkan 91 proyek infrastruktur senilai 22 miliar dollar AS.[2]

Pada periode SBY jilid II, kebutuhan pendanaan infrastruktur semakin meningkat. Pemerintah memperkirakan rata-rata investasi infrastruktur selama 2010-2014 mencapai Rp1.923,7 Triliun. Yang akan dipenuhi melalui dana APBN (termasuk Dana Alokasi Khusus) sekitar Rp559,54 Triliun, ditambah dengan dana APBD sebesar Rp355,07 Triliun, dan BUMN yang diharapkan berkontribusi  sebesar Rp340,85 Triliun. Sektor swasta diperkirakan akan mampu menyumbang sebesar Rp344,67 Triliun, sehingga diperkirakan masih akan ada kekurangan dana pembangunan infrastruktur sebesar Rp323,67 Triliun.[1] Adanya kesenjangan sumber pendanaan ini kemudian memberi celah bagi penambahan penarikan utang baru di dalam APBN.

Di dalam APBN, anggaran infrastruktur dapat berasal dari belanja pemerintah pusat, baik belanja melalui kementerian negara/lembaga (K/L) maupun belanja non-K/L, sementara untuk transfer ke daerah, anggaran infrastruktur dapat berasal dari dana alokasi khusus untuk bidang-bidang yang terkait dengan infrastruktur. Sementara itu, untuk pos pembiayaan anggaran, pengeluaran infrastruktur dapat berupa investasi pemerintah untuk infrastruktur, dana bergulir pengadaan tanah, dan penyertaan modal negara baik 
 
untuk PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) maupun PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII). Dua perusahaan yang disebut terakhir merupakan perusahaan yang dibentuk Pemerintah dengan modal patungan dari sejumlah kreditor seperti ADB, Bank Dunia, Jepang, dan sejumlah negara kreditor lain.
Sepanjang 2007-2013 terjadi peningkatan belanja pemerintah untuk mendanai kegiatan-kegiatan infrastruktur, dari hanya Rp59,8 triliun pada 2007 direncakan menjadi Rp188,4 triliun pada 2013. Anggaran infrastruktur ini termasuk di dalamnya adalah yang bersumber dari skema pinjaman luar negeri yang ditarik dalam APBN setiap tahun. Meski demikian, penambahan belanja infrstruktur, khususnya belanja modal dalam struktur belanja pemerintah pusat selama ini tidak efektif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana dilaporkan oleh Hartati (2012),[1]  bahwa setiap terjadi peningkatan belanja modal pemerintah Rp1 miliar, hanya 30% yang berbentuk investasi pemerintah. Hal tersebut dikarenakan terjadinya kebocoran anggaran serta alokasi belanja yang tidak terkait langsung dengan pertumbuhan ekonomi dan pelayanan masyarakat.
Demikian halnya pada RAPBN 2013, alokasi belanja modal sebesar 193,8 triliun, yang terkait dengan fungsi ekonomi hanya sekitar 41% atau Rp 79,8 triliun. Sementara sebanyak 17% atau Rp 33,5 triliun, lagi-lagi kembali digunakan untuk kepentingan birokrasi pada fungsi pelayanan umum seperti pembangunan gedung dan pemberian kendaraan dan lain-lain. Masih terbatasnya sumber pendanaan dalam APBN untuk membiayai infrastruktur disebabkan besarnya alokasi anggaran negara untuk belanja birokrasi dan pembayaran utang. Anggaran keduanya bahkan hampir menghabiskan setengah dari APBN tahun 2012.  

Skema Liberalisasi Infrastruktur
Atas dasar besarnya pendanaan yang dibutuhkan, dan tingginya kebutuhan akan infrastruktur, serta adanya potensi pengikutsertaan sektor swasta, pemerintah kemudian melakukan reformasi kebijakan di sejumlah sektor untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur. Komitmen tersebut secara eksplisit dikemukakan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan Infrastruktur Summit 2005 dengan cara melakukan reformasi kebijakan, regulasi, dan kelembagaan untuk meningkatkan peran serta swasta dalam penyediaan infrastruktur.
Hal ini diikuti dengan pembuatan 156 paket kebijakan reformasi infrastruktur oleh Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) pada tahun 2006. Reformasi tersebut mengandung tiga pokok pembaharuan, yaitu (1) penghapusan bentuk monopoli negara dengan mendorong terciptanya kompetisi; (2) penghilangan diskriminasi dan hambatan bagi swasta dan korporasi dalam penyediaan infrastruktur; dan (3) reposisi peran pemerintah termasuk pemisahan fungsi pembuat kebijakan dan fungsi operasi (Bank Dunia, Bappenas, 2007).
Sayangnya, reformasi kebijakan dalam penyediaan kebutuhan infrastruktur lebih dilandasi oleh keinginan untuk menghilangkan monopoli negara dalam pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, menjadi kesempatan bagi pihak swasta asing maupun di dalam negeri untuk berperan lebih besar. Keterlibatan pihak swasta sangat dimungkinkan, sejauh tidak mengurangi peran negara dalam penyediaan pelayanan publik atau infrastruktur dasar bagi kesejahteraan rakyat
Dalam konteks ini, lembaga-lembaga kreditor memainkan peran penting dalam upaya mendorong kebijakan liberalisasi ekonomi di bidang infrastruktur.



[1] Ir. Dedy Supriadi Priatna, M.Sc., Ph.D., Pembiayaan Infrastruktur melalui dana pemerintah dan swasta, diakses dari:http://pusbinsdi.net/file/1328010191Pembiayaan%20Infrastruktur%20Melalui%20Dana%20Pemerintah%20dan%20Swasta.pdf.
[2] Kompas, Investor Menuntut Bukti, Bukan Lagi Janji, 19 Januari 2005 .

[3] Kementerian Pekerjaan Umum, 4 Mei 2012.
 [4] Enny Sri Hartati, Dampak Komposisi Belanja Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan, Institut Pertanian Bogor, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar